Pages

Subscribe:

Sabtu, 22 Oktober 2011

Kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim 'Alaihisshalatu wassalam

Kisah-kisah agung dari Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam adalah peneguhan nyata akan tauhid. Ketaatan dan keimanan yang luar biasa kepada Allah  subhanahu wa ta'ala mewujud pada tindakan yang niscaya akan teramat berat ditunaikan manusia pada umumnya. Sebuah keteladanan yang mesti kita tangkap dan nyalakan dalam kehidupan kita.

Nabi Ibrahim 'alaihi wasallam Seorang Teladan Yang Baik

Perjalanan hidupnya selalu berpijak di atas kebenaran dan tak pernah meninggalkannya. Posisinya dalam agama amat tinggi (seorang imam) yang selalu patuh kepada Allah  subhanahu wa ta'ala  dengan mempersembahkan segala ibadahnya hanya untuk-Nya semata. Beliau pun tak pernah lupa mensyukuri segala nikmat dan karunia ilahi. Allah  berfirman:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan selalu berpegang kepada kebenaran serta tak pernah meninggalkannya (hanif). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta'ala. Dia pun selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” (An-Nahl: 120-121).

Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam merupakan sosok pembawa panji-panji tauhid. Perjalanan hidupnya yang panjang sarat dengan dakwah kepada tauhid dan segala liku-likunya. Bahkan Allah  subhanahu wa ta'ala  jadikan beliau sebagai teladan dalam hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya; ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir, dan ampunilah kami ya Rabb kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mumtahanah: 4-5)

Demikian pula, beliau selalu mengajak umatnya kepada jalan Allah  subhanahu wa ta'ala  serta mencegah mereka dari sikap taqlid buta terhadap ajaran sesat nenek moyang. Allah  subhanahu wa ta'ala berfirman:
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya: ‘Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya?’ Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Rabb kalian adalah Rabb langit dan bumi, Yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang bisa memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (Al-Anbiya`: 52-58)
Allah  subhanahu wa ta'ala  memilihnya, menunjukinya kepada jalan yang lurus, serta mengaruniakan kepadanya segala kebaikan dunia dan akhirat. Allah  subhanahu wa ta'ala  berfirman:
“Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami karuniakan kepadanya kebaikan di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang yang shalih.” (An-Nahl: 121-122)

Bahkan Allah  subhanahu wa ta'ala  mengangkatnya sebagai khalil (kekasih). Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan Allah mengangkat Ibrahim sebagai kekasih.” (An-Nisa`: 125)
Dengan sekian keutamaan itulah, Allah  subhanahu wa ta'ala  wahyukan kepada Nabi Muhammad n untuk mengikuti agama beliau q. Sebagaimana firman Allah  subhanahu wa ta'ala :
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.’ Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)

Demikianlah sekelumit tentang perjalanan hidup Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam dan segala keutamaan yang Allah  subhanahu wa ta'ala  karuniakan kepadanya. Barangsiapa mempelajarinya dengan seksama (mentadabburinya) niscaya akan mendulang mutiara hikmah dan pelajaran berharga darinya. Terkhusus pada sejumlah momen di bulan Dzulhijjah yang hakikatnya tak bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim 'alaihi wasaallam.
Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam dan Beberapa Amalan Mulia di Bulan Dzulhijjah.

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan mulia dalam Islam. Karena di dalamnya terdapat amalan-amalan mulia; shaum Arafah, haji ke Baitullah, ibadah qurban, dan lain sebagainya, yang sebagiannya tidak bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim q. Di antara amalan mulia tersebut adalah:

a) Haji ke Baitullah
Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang sangat mulia dalam agama Islam. Kemuliaannya nan tinggi memosisikannya sebagai salah satu dari lima rukun Islam. Rasulullah n bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah  subhanahu wa ta'ala  dan beliau Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no.16, dari sahabat Abdullah bin Umar R0dhiyallahu 'anhu)

Ibadah haji yang mulia ini tidaklah bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam. Terlebih tatkala kita menyaksikan jutaan umat manusia yang datang berbondong-bondong dari segenap penjuru yang jauh menuju Baitullah, menyambut panggilan ilahi dengan lantunan talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْـمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat, dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah  subhanahu wa ta'ala :
“Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 27-28)

Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Ibadah haji mempunyai hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi serta tujuan yang mulia, dari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana yang dikandung firman Allah  subhanahu wa ta'ala :
“Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 28)

Haji merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh dunia. Allah  subhanahu wa ta'ala  pertemukan mereka semua di waktu dan tempat yang sama. Sehingga terjalinlah suatu perkenalan, kedekatan, dan saling merasakan satu dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya tali persatuan umat Islam, serta terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia mereka.” (Taudhihul Ahkam, juz 4 hal. 4)

Lebih dari itu, ibadah haji mempunyai banyak hikmah dan pelajaran penting yang apabila digali rahasianya maka sangat terkait dengan agama dan sosok Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam, baik dalam hal keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia. Di antara hikmah dan pelajaran penting tersebut adalah:
1. Perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam hati sanubari, manakala para jamaah haji bertalbiyah.

2. Pendidikan hati untuk senantiasa khusyu’, tawadhu’, dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan thawaf, wukuf di Arafah, serta amalan haji lainnya.

3. Pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah  subhanahu wa ta'ala , ketika menyembelih hewan qurban di hari-hari haji.

4. Kepatuhan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah  subhanahu wa ta'ala  dan Rasul-Nya tanpa diiringi rasa berat hati, ketika mencium Hajar Aswad dan mengusap Rukun Yamani.

5. Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, serta menunaikan amalan yang sama pula (haji). (Lihat Durus ‘Aqadiyyah Mustafadah Min Al-hajj)

b) Menyembelih Hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11,12, 13 Dzulhijjah) merupakan amalan mulia dalam agama Islam. Di antara bukti kemuliaannya adalah bahwa Rasulullah n senantiasa melakukannya semenjak berada di kota Madinah hingga wafatnya. Sebagaimana yang diberitakan sahabat Abdullah bin Umar c:
“Nabi n selama sepuluh tahun tinggal di kota Madinah senantiasa menyembelih hewan qurban.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dia -At-Tirmidzi- berkata: ‘Hadits ini hasan’)

Penyembelihan hewan qurban, bila dirunut sejarahnya, juga tidak lepas dari sosok Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam dan putra beliau Nabi Ismail 'alaihi wa sallam. Sebagaimana yang Allah  subhanahu wa ta'ala  beritakan dalam kitab suci Al-Qur`an:
“Maka tatkala anak itu (Ismail) telah sampai (pada umur sanggup) untuk berusaha bersama-sama Ibrahim, berkatalah Ibrahim: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 102-109)
Demikianlah sosok Ibrahim, yang senantiasa patuh terhadap segala sesuatu yang Allah  subhanahu wa ta'ala  perintahkan kepadanya walaupun berkaitan dengan diri sang anak yang amat dicintainya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk menjalankan perintah tersebut. Ini tentunya menjadi teladan mulia bagi kita semua, dalam hal ketaatan kepada Allah  subhanahu wa ta'ala .
Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam dan Para Da’i (Pegiat Dakwah)
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim q mengandung banyak pelajaran berharga bagi para da’i. Di antara pelajaran berharga tersebut adalah:

a) Para da’i hendaknya membangun dakwah yang diembannya di atas ilmu syar’i. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim q ketika mendakwahi ayahnya (dan juga kaumnya):
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
Dan demikianlah sesungguhnya jalan dakwah yang ditempuh Rasulullah n, sang uswatun hasanah. Sebagaimana firman Allah l:
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah jalanku, aku berdakwah di jalan Allah di atas ilmu, demikian pula orang-orang yang mengikuti jejakku. Maha Suci Allah dan aku tidaklah termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)

b) Para da’i hendaknya berupaya menyampaikan kebenaran yang diketahuinya secara utuh kepada umat, serta memperingatkan mereka dari segala bentuk kebatilan dan para pengusungnya. Kemudian bersabar dengan segala konsekuensi yang dihadapinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah l tentang Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam:
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: ‘Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan bertaqwalah kalian kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mau mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian ibadahi selain Allah itu adalah berhala, dan kalian telah membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberi rizki kepada kalian, maka mintalah rizki itu dari sisi Allah dan beribadahlah hanya kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian akan dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka umat sebelum kalian juga telah mendustakan dan kewajiban Rasul itu hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya.” (Al-‘Ankabut: 16-18)

Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam pun tetap bersabar dan istiqamah di atas jalan dakwah manakala umatnya melancarkan segala bentuk penentangan dan permusuhan terhadapnya, sebagaimana firman Allah l:
“Maka tidak ada lagi jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan: ‘Bunuhlah atau bakarlah dia!’, lalu Allah menyelamatkannya dari api (yang membakarnya). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” (Al-‘Ankabut: 24)

Demikian pula Nabi besar Muhammad Sholallauhu 'alaihi wa sallam, perjalanan dakwah beliau merupakan simbol kesabaran di alam semesta ini.

Sosok Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam merupakan teladan bagi para da’i secara khusus dan masing-masing individu secara umum dalam hal kepedulian terhadap kondisi umat dan negeri. Hal ini sebagaimana yang tergambar pada kandungan doa Nabi Ibrahim yang Allah l abadikan dalam Al-Qur`an:
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 126)

Nabi Ibrahim 'alaihi wasallam dan Para Orangtua
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam, merupakan cermin bagi para orangtua dalam perkara pendidikan dan agama anak cucu mereka. Allah  subhanahu wa ta'ala  berfirman:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan kalimat itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini bagi kalian, maka janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’.” (Al-Baqarah: 132)

Bahkan Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam tak segan-segan berdoa dan memohon kepada Allah  subhanahu wa ta'ala  untuk keshalihan anak cucunya, sebagaimana yang Allah  subhanahu wa ta'ala  abadikan dalam Al-Qur`an:
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari perbuatan menyembah berhala.” (Ibrahim: 35)
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku beserta anak cucuku orang-orang yang selalu mendirikan shalat. Wahai Rabb kami, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)

Setiap orangtua mengemban amanat besar untuk menjaga anak cucu dan keluarganya dari adzab api neraka. Sehingga dia harus memerhatikan pendidikan, agama dan ibadah mereka. Sungguh keliru, ketika orangtua acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya. Yang selalu diperhatikan justru kondisi fisik dan kesehatannya, sementara perkara agama dan ibadahnya diabaikan. Ingatlah akan seruan Allah  subhanahu wa ta'ala :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari adzab api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam dan Para Anak
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam juga mengandung pelajaran berharga bagi para anak, karena beliau adalah seorang anak yang amat berbakti kepada kedua orangtuanya serta selalu menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan cara yang terbaik. Allah  subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tiada dapat mendengar, tiada pula dapat melihat dan menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Dzat Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Allah Dzat Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 42-45)

Ketika sang bapak menyikapinya dengan keras, seraya mengatakan (sebagaimana dalam ayat):
“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti (dari menasihatiku) niscaya kamu akan kurajam! Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Maka dengan tabahnya Ibrahim 'alaihi wa sallam menjawab:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Rabb-ku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)

Demikianlah seyogianya seorang anak kepada orangtuanya, selalu berupaya memberikan yang terbaik di masa hidupnya serta selalu mendoakannya di masa hidup dan juga sepeninggalnya.

Nabi Ibrahim 'alaihi wa wasallam dan Para Suami-Istri.
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim q juga mengandung pelajaran berharga bagi para suami-istri, agar selalu membina kehidupan rumah tangganya di atas ridha Allah l. Hal ini tercermin dari dialog antara Nabi Ibrahim 'alaih wa sallam dengan istrinya yang bernama Hajar, ketika Nabi Ibrahim membawanya beserta anaknya ke kota Makkah (yang masih tandus dan belum berpenghuni) atas perintah Allah  subhanahu wa ta'ala .

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas Rhodhiyaallahu 'anhu, beliau berkata: “Kemudian Ibrahim membawa Hajar dan sang putra Ismail –dalam usia susuan– menuju Makkah dan ditempatkan di dekat pohon besar, di atas (bakal/calon) sumur Zamzam di lokasi (bakal) Masjidil Haram. Ketika itu Makkah belum berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Maka Ibrahim menyiapkan satu bungkus kurma dan satu qirbah/kantong air, kemudian ditinggallah keduanya oleh Ibrahim di tempat tersebut. Hajar, ibu Ismail pun mengikutinya seraya mengatakan: ‘Wahai Ibrahim, hendak pergi kemana engkau, apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni ini?’ Dia ulang kata-kata tersebut, namun Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Hingga berkatalah Hajar: ‘Apakah Allah yang memerintahkanmu berbuat seperti ini?’ Ibrahim menjawab: ‘Ya.’ Maka (dengan serta-merta) Hajar mengatakan: ‘Kalau begitu Dia (Allah) tidak akan menyengsarakan kami.’ Kemudian Hajar kembali ke tempatnya semula.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, no. 3364)

Atas dasar itulah, seorang suami harus berupaya membina istrinya dan menjaganya dari adzab api neraka. Demikian pula sang istri, hendaknya mendukung segala amal shalih yang dilakukan suaminya, serta mengingatkannya bila terjatuh dalam kemungkaran.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah  subhanahu wa ta'ala , demikianlah mutiara hikmah dan pelajaran berharga dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim 'alaihi wa sallam yang menyentuh beberapa elemen penting dari masyarakat kita. Semoga kilauan mutiara hikmah tersebut dapat menyinari perjalanan hidup kita semua, sehingga tampak jelas segala jalan yang mengantarkan kepada Jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin….

http://www.asysyariah.com/syariah/manhaji/150-mendulang-mutiara-hikmah-dari-perjalanan-hidup-nabi-ibrahim-manhaji-edisi-36.html

Wallahu a'lam..

0 komentar:

Posting Komentar